DISAMPAIKAN PADA PERTEMUAN KOORDINASI
PERSUTERAAN ALAM SULAWESI SELATAN
DI HOTEL MERCURE, 27 APRIL 2011
PEMERINTAH KABUPATEN WAJO
DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
By. Ir. H. Darwin A. Tjukke, MP.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Wajo sejak tahun 50 an terkenal sebagai penghasil sarung sutera dan sekarang menjadi salah satu pusat pengembangan sutera di Sulawesi selatan yang merupakan sentera pengolahan benang menjadi kain sutera dan kerajinan dengan hanya mengandalkan pasokan bahan baku benang sutera di daerah sekitar dan benang impor China.
Persuteraan Alam merupakan seri kegiatan panjang mulai budidaya murbei sebagai pakan ulat sutera, produksi bibit telur ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera sampai pemanenan kokon rangkaian seri ini disebut kegiatan Hulu dan rangkaian seri selanjutnya adalah Hilir dengan kegiatan pemintalan kokon untuk benang dan penenunan benang menjadi kain sutera.
Perkembangan kegiatan sampai sekarang ini adalah kegiatan Hilir lebih menarik minat para pemodal karena resiko kecil dan mendapatkan keuntungan lebih besar namun lambat laun disadari juga terjadi ketergantungan bahan baku dari luar setelah pasokan tidak lancar yang menyebabkan kekurangan benang sehingga alat industeri pertenunan menganggur.
Bertitik tolak dari sini para pihak mulai membina petani budidaya murbei untuk pakan ulat namun pada umumnya terjadi kegagalan panen akibat bibit telur. Dari kegagalan demi kegagalan panen kokon ditarik suatu kesimpulan bahwa bibit telur ulat dari luar tidak bisa menjamin keberhasilan akibat transportasi dan penyimpanan.
Bertitik tolak dari kondisi-kondisi di atas maka Pemerintah Kabupaten Wajo mengambil suatu kebijakan yaitu Reformasi Persuteraan Alam Kab. Wajo. dengan terlebih dahlu berkonsultasi dengan pihak yang berwenang yaitu Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan Bili-Bili.
Kebijakan ini berfokus pada penanganan bibit ulat telur oleh Pemerintah Kabupaten Wajo sebelum didistribusikan kepada Petani pemelihara ulat sutera.
Perinsip kerjanya adalah produksi sendiri bibit ulat telur lalu ditetaskan dan ulat instar I – III dipelihara terlebih dahulu selanjutnya disalurkan kepada petani. Hal ini berdasarkan analisa dan pengamatan lapangan bahwa penetasan telur dan pemeliharaan instar I-III sangat rentang resiko apabila dilakukan oleh petani.
Reformasi Persuteraan Alam ini lebih berfokus pada kegiatan hulu sehingga akan menampung tenaga kerja lebih banyak bila dibandingkan sebelum reformasi yang hanya bergerak dibidang hilir. Kegiatan hulu sebagai penghasil kokon menjadi titik fokus pembinaan akan membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sehingga akan menampung tenaga kerja perempuan yang lebih banyak. Kegiatan hulu akan mempekerjakan kaum perempuan utamanya pemetikan daun murbei, pemeliharaan ulat sutera, pengokonan karena kegiatan ini merupakan pekerjaan halus yang memerlukan ketelitian dan kesabaran.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari reformasi persuteraan alam di kabupaten wajo meliputi:
a. Pemusatkan pembinaan pada hulu sebagai penghasil bahan baku benang sutera untuk memenuhi bahan baku industri pertenunan kain sutera Kabupaten Wajo
b. Menghasilkan sendiri benang sutera sehingga ketergantungan bahan baku benang sutera bisa diatasi.
C. Sasaran
Sasaran reformasi Persuteraan Alam di Kabupaten Wajo meliputi :
a. Menjadikan Kabupaten Wajo sebagai Sentra Persuteraan Alam baik hulu maupun hilir.
b. Dalam jangka panjang, diharapkan ketergantungan terhadap bahan baku impor, secara bertahap mulai berkurang dan secara kontinyu dapat dipenuhi kebutuhan bahan baku dari hasil produksi dalam negeri/local (Pemenuhan bahan baku industri pertenunan 58 ATM dan 227 ATBM serta 4.983 gedongan).
c. Lahan-lahan tidur yang masih luas dan terlantar
d. Persuteraan Alam mulai dari hulu sampai hilir pengelolaannya satu management
II. PERSUTERAAN ALAM WAJO
A. Pendampingan
Pendampingan dalam Persuteraan Alam di Kabupaten Wajo selama ini meliputi pembinaan teknis di lapangan utamanya pada proses pemeliharaan ulat sutera. Pendampingan ini dilakukan oleh petugas persuteraan alam pada setiap periode pemeliharaan meliputi kegiatan pembersihan, disinfeksi, penyemprotan ruangan pemeliharaan. Kondisi ini akan memberikan hasil produksi kokon secara kontinyu tetapi begitu petugas meninggalkan petani dalam hal ini tidak melakukan pendampingan lagi karena penugasan ditempat lain maka produksi kokon akan menurun bahkan gagal panen. Pada waktu gagal panen disinilah timbul berbagai asumsi antara lain ; bibit telur ulat jelek, petani tidak mengindahkan persyaratan tehnis pemeliharaan, ulat terserang penyakit
B. Kebijakan
Kebijakan pemerintah yang telah dilaksanakan selama ini adalah :
1. Menyusun Rencana Pembangunan Usahatani Persuteraan Alam Kabupaten Wajo Tahun 2009-2014
2. Membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Usaha Mikro Persuteraan Alam, Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)
3. Pengembangan Persuteraan Alam diarahkan sebagai usaha tani yang menguntungkan bukan hanya untuk tujuan produksi, tetapi lebih diarahkan pada lokasi yang masyarakatnya sudah mengenal serta sudah membudaya dengan kegiatan tersebut
4. Mempercayakan Perum Perhutani untuk menyiapkan pengadaan telur ulat sutera
5. Tidak mengizinkan beredarnya telur tidak bersertifikasi di Kabupaten Wajo
6. Dalam rangka pengembangan usahatani persuteraan alam di Kabupaten Wajo diterapkan pola kemitraan. Badan Usaha berperan sebagai pembina usahatani dan penjamin pasar, namun tidak bisa menjamin ketersediaan bahan baku dalam jumlah cukup.
7. Peningkatan sumberdaya manusia yang bergerak dibidang persuteraan alam melalui pendidikan, pelatihan, magang, study banding, mengikuti seminar, Temu Usaha Sutera dan kunjungan kerja.
8. Sistem pendananaan ditempuh melalui subsidi dengan sistem keproyekan, Swadaya dan Kredit Usaha Tani Persuteraan Alam.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah selama ini bisa diasumsikan sebagai penyebab persuteraan alam di Kabupaten wajo memprihatinkan. Sebagai contoh konkrit kebijakan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan yang membagi wilayah pengembangan bahwa Kabupaten Wajo sebagai pengembangan industri penenun benang sutera menjadi kain sutera dan Kabupaten Soppeng dan Enrekang sebagai pengembangan penghasil kokon dan benang sutera. Kebijakan ini menyebabkan industri hilir berupa pertenunan kain sutera di Kabupaten Wajo maju pesat tetapi pada ahirnya Kabupaten Enrekang dan Soppeng tidak bisa memenuhi kebutuhan bahan baku benang sutera. Kebijakan lain petugas persuteraan alam dimutasikan ke kegiatan lain.
C. Kemitraan
Pendekatan Pola Kemitraan ini harus berprinsip adanya sinergisitas dan saling menguatkan, saling membutuhkan dan saling menguntungkan para pihak.
Dengan pendekatan pola ini, maka diarapkan para petani dan badan usaha/investor akan mendapatkan keuntungan, antara lain petani sutera alam terjamin pemasaran produksinya dan badan usaha/investor terjamin untuk mendapatkan bahan baku.
Tetapi tujuan kemitraan tidak tercapai oleh karena sistem yang memerlukan peninjauan kembali.
D. Keproyekan
Keproyekan dalam kegiatan persuteraan alam sebetulnya merupakan subsidi yang berpusat pada kegiatan hulu mulai pertanaman murbei, penyiapan bibit telur ulat, penyiapan sarana UPUK (Unit Pemeliharaan Ulat Kecil) dan UPUB (Unit Pemeliharaan Ulat Basar) dapat memberikan produksi kokon mencapai 40 kg per boks.
Dalam keproyekan ini perlakuan teknis meliputi bibit ulat telur lalu ditetaskan dan ulat instar I – III dipelihara terlebih dahulu selanjutnya disalurkan kepada petani. Hal ini berdasarkan analisa dan pengamatan lapangan bahwa penetasan telur dan pemeliharaan instar I-III sangat rentang resiko apabila dilakukan oleh petani, selanjutnya petani memelihara pada pemeliharaan instar IV dan seterusnya sesuai tahapan standar teknis yang diterapkan melalui pendampingan oleh petugas.
E. Pembinaan
1. Kelembagan
Pembinaan kelembagaan dilakukan dalam upaya memantapkan pembinaan persuteraan alam khususnya mengenai kegiatan terpadu, peraturan perundangan dan pembinaan usahatani.
- Tim Koordinasi antara instansi terkait ditingkatkan perannya dalam pembinaan dan penyebarluasan informasi persuteraan alam kepada petani dan para industri pertenunan
- Memanfaatkan Kredit permodalan yang disiapkan oleh pihak Bank terutama bagi industri pertenunan untuk pengadaan alat tenun dan bahan baku.
- Memantapkan kelembagaan kelompok tani dengan menggunakan tenaga LSM dan Penyuluh Kehutanan.
2. Pembinaan Sumber Daya Manusia
a. Meningkatkan kemampuan personal baik petugas maupun petani dalam rangka peningkatan produksi persuteraan alam melalui pelatihan, pendidikan dan magang pada daerah yang sudah maju di kecamatan lain.
b. Menyebar petugas dan penyuluh kehutanan sesuai kebutuhan di lapangan.
3. Pembinaan Produksi
a. Mencari standar teknis tanaman murbey yang ditumpangsarikan dengan tanaman lain. Tanaman murbei yang ditumpangsarikan dengan kedelai, lombok, kacang hijau dengan jarak tanam 2,5 X 40 cm, masih memberikan produksi kokon 30 kg/box.
b. Perda Kabupaten Wajo No. 11 tahun 1996 salah satu pasalnya mengawasi peredaran telur.
c. Memperhatikan rendemen kokon, rendemen benang sutera 15 % dengan alat pintal tradisional.
d. Membuat perjanjian kerjasama dengan petani tentang kesiapan petani tidak mengganti murbey dengan komuditas lain.
4. Pembinaan Usaha/ Pemasaran
a. Mengikuti pameran-pameran dan promosi produksi persuteraan alam di Ujung Pandang, Jakarta dan lain-lain.
b. Menyerbarkan informasi persuteraan alam baik melalui media cetak/elektronik/leaflet.
c. Segmen Produksi dipertahankan dalam bentuk kain sutera karena memberikan lapangan kerja bagi pengrajin dan tetap menguntungkan usaha tani persuteraan alam.
5. Pengawasan, Pengendalian dan Pelaporan
a. Penyuluh Kehutanan melaporkan perkembangan persuteraan alam setiap bulan terutama penyaluran telur, produksi kokon/ box
b. Mengawasi peredaran telur terutama yang tidak bersertifikasi
III. PERSUTERAAN ALAM WAJO DIMASA DEPAN
Persuteraan Alam Wajo di masa depan melalui Reformasi Persuteraan Alam Kabupaten Wajo diharapkan menjadi sentra Persuteraan Alam baik hulu maupun hilir.
A. Produksi sendiri Bibit Telur Ulat
Produksi Bibit telur Ulat Sutera merupakan kebutuhan yang mendasar untuk mengasilkan produk yang berkualitas, dengan memproduksi sendiri bibit telur ulat maka ketersediaan bibit telur ulat akan terpenuhi dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkan.
Reformasi persuteraan alam Wajo di harapkan mampu memproduksi sendiri Bibit Telur Ulat dengan teknologi dan Sumber Daya Manusia yang ahli sesuai dengan kebutuhan permintaan petani sutera baik di Kabupaten Wajo maupun di luar kabupaten.
B. Kelembagaan
Untuk di masa depan persuteraan alam Wajo akan dikelola satu management mulai dari hulu sampai hilir melalui pembentukan lembaga khusus persuteraan alam yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas Persuteraan Alam Kabupaten Wajo. Hal ini dilakukan dengan cita-cita ingin menjadi satu-satunya penghasil sutera alam dengan keunikan tersendiri.
C. Pendampingan
Pemerintah Kabupaten Wajo akan merekrut sarjana kehutanan yang bersedian menjadi fungsional pendamping persuteraan alam yang bertugas terus menerus pada kegiatan persuteraan alam baik hulu maupun hilir.
D. Subsidi
Melalui APBD menyiapkan dana subsidi produksi bibit telur ulat sutera, pembangunan UPUK dan UPUB, penyiapan sarana produksi tanaman murbei dan pemeliharaan ulat.
E. Satu management
Persuteraan Alam Kabupaten Wajo dikelola dengan sistem satu management yaitu pengelolaan Hulu dan Hilir terpusat dalam satu UPTD Persuteraan Alam Kabupaten Wajo sebagai induk koordinasi.
IV. KESIMPULAN
Reformasi Persuteraan Alam di Kabupaten Wajo dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kegiatan hulu yang dilaksanakan oleh petani harus ada pendampingan.
2. Kegiatan Persuteraan alam memerlukan subsidi baik oleh pemerintah maupun swasta dalam bentuk kemitraan
3. Kegiatan Persuteraan alam memerlukan sistem satu management mulai dari hulu sampai hilir.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar